TERASKATA.id, Palopo – Pembangunan bendungan sungai rongkong menjadi salah satu solusi bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Utara, untuk mengatasi banjir yang selama ini melanda sejumlah Kecamatan di Bumi Lamaranginang.
Hanya saja rencana itu menuai kontroversi. Gejolak penolakan muncul dari sekelompok warga Kabupaten Luwu Utara. Khususnya yang bermukim disekitar wilayah rencana pembangunan bendungan. Disisi lain, dukungan kepada Pemkab Lutra untuk melanjutkan pembangunan juga massif. Mereka yang mendukung, khususnya datang dari warga yang selama ini terdampak bencana banjir akibat meluapnya air sungai rongkong.
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sendiri, hingga saat ini masih tetap ngotot untuk melanjutkan pembangunan bendungan yang diklaim telah diperjuangkan sekian lama itu.
Mereka yang mendukung dilanjutkannya pembangunan bendungan itu, diantaranya adalah warga Kecamatan Malangke dan Malangke Barat. Warga disana menganggap banjir yang selama ini dirasakan adalah efek dari sungai rongkong yang meluap ketika curah hujan diatas rata-rata.
BACA JUGA: Laporan Hafidah Rauf Tidak Terbukti
Camat Malangke Barat, Sulpiadi menyebutkan, saat banjir datang kerugian yang dialami warganya cukup besar. Bahkan bisa menyebabkan adanya korban jiwa. Bahkan baru-baru ini, banjir yang melanda Malangke Barat, telah merendam lahan pertanian.
Ia mencatat, ada 550 Hektar lahan pertanian jagung yang terendam di Malangke dan Malangke Barat. Luapan sungai rongkong bagi warga lima Desa di Malangke Barat, yakni Desa Limbong Wara, Pombakka, Wara Cenning dan Waelawi adala musibah tiada henti.
”Ini tanggung jawab moril kita semua dinda. Maka dari itu, teruslah berjuang dan peduli terhadap nasib keluarga kita yang selama ini terkena dampak,” ucap Sulpiadi kepada teraskata.id.
Senada diungkapkan Sekretaris Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (Pispi) Sulawesi Selatan, Bahtiar Manadjeng. Putra Malangke ini menyebutkan, kerugian yang dialami warga pesisir Luwu Utara sangat besar saat banjir datang.
Ia menyebutkan, ada dua persoalan dasar yang menyebabkan Malangke menjadi daerah langganan banjir. Pertama, kata Bahtiar adalah curah hujan yang tinggi, dan Luapan air suangai rongkong. Sehingga pembangunan bendungan memang menjadi solusi cerdas untuk menyelematkan warga Malangke dari banjir. Apalagi, Bahtiar mencatat, kerugian yang dialami petani jika bencana banjir datang mencapai angka Rp16 Miliar.
BACA JUGA: BKPSDM Ukur Kinerja ASN dengan Tiga Aplikasi
”Jadi solusinya normalisasi sungai kecil dan bendungan. Ya, kalo kita kalkulasi dengan lahan 550 Hektare yang terenda, maka tentu kerugian yang dialami sekitar Rp16 Miliar dinda,” terangnya
Bahtiar merinci, penghasilan rata-rata petani jagung per Hektarnya sebesar 8 Ton. Untuk mensejahterakan petani, menurutnya pemerintah harus tetap mempertimbangkan segala aspek, termasuk kesejahteraan petani di Malangke.
”Kalau 550 Hektar lahan Sawah dengan produksi 8 ton per hektar, dikalikan Rp3500 hasilnya sekitar Rp16 Miliar,” tandasnya.
Sebelumnya, sekelompok warga Desa Tandung, Kecamatan Sabbang menggelar aksi unjukrasa menolak pembangunan bendungan. Mereka mengaku tidak ingin direlokasi dari kampung halaman mereka sebagai efek dari pembangunan bendungan tersebut.
Setidaknya, ada empat alasan yang mendasari penolakan itu. Melalui pendekatan sejarah, masyarakat Desa Tandung adalah bagian dari wilayah Kedatuan Luwu berdasarkan pemberi gelar Tomakaka dan pembentukan pemangku adat oleh Pajung Luwu dan sejak terbentuknya Desa Tandung dari tahun 1954 hingga saat ini. Desa Tandung tidak bisa dipisah-pisahkan apalagi mau dihilangkan atau bahasa adat (talli) dari orang terdahulu yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Kedua, pendekatan ekonomi, bahwa masyarakat Desa Tandung akan mendapat dampak dari pembangunan Bendungan Sungai Rongkong dan akan kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, seperti pertanian yang nantinya akan memiskinkan masyarakat Desa Tandung.
Ketiga, pendekatan sosial kultur, bahwa masyarakat Desa Tandung mendiami wilayah ini secara turun-temurun. Hidup dalam keadaan damai dan tentram dan memiliki silsilah keturunan serta adanya hubungan kuat yang telah terbangun dengan lingkungan hidupnya dari sejak dulu.
BACA JUGA: Godok Calon Ketua DPRD, Golkar Sulsel Sebut 3 Nama untuk Luwu Utara
Keempat, pendekatan adat, bahwa masyarakat Desa Tandung adalah bagian dari wilayah Kedatuan Pajung Luwu yang seharusnya dilestarikan dan dilindungi hak-haknya oleh pemerintah bukan malah menghancurkan eksistensinya.
Sementara itu, Pemkab Lutra pada Kamis (20/6/2019) lalu menggelar rapat terbatas di ruang asisten II, Kantor Bupati Luwu Utara, Jl Simpurusiang, Kelurahan Bone Tua, Kecamatan Masamba.
Asisten II Pemkab Luwu Utara, Syamsul Syair mengatakan, solusi utama penanganan banjir di wilayah Kecamatan Baebunta Selatan, Baebunta, dan Malangke Barat akibat Sungai Rongkong adalah, pembangunan bendungan.
Syamsul menegaskan, proses pembangunan bendungan yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun harus tetap jalan. Pemerintah, tidak boleh kendor dengan adanya riak di masyarakat. Adat dan pengakuan dari Kedatuan Luwu, yang menjadi alasan masyarakat menolak akan dicari solusinya.
”Salah satu alternatif yaitu, mengajukan penyelesaian ke Datu Luwu dengan melibatkan masyarakat yang terdampak. Baik yang terdampak akibat pembangunan bendungan, maupun yang terdampak banjir,” katanya. (*)